Sabtu, 17 Mei 2014

LAPORAN TPP: PENGARUH GAS ETILEN DAN BAHAN PENYERAP OKSIGEN PADA BEBUAHAN SELAMA PENYIMPANAN


Buah dan sayur merupakan jenis pangan yang mudah rusak karena kandungan airnya yang cukup tinggi sehingga memungkinkan bakteri dan mikroba lain tumbuh di dalamnya dan hal ini bisa menurunkan mutu pangan. Penurunan mutu tersebut disebabkan karena sayur dan buah setelah dipetik masih melakukan proses metabolisme dan aktivitas respirasi. Jaringan pada buah dan sayur yang telah dipetik aktif melakukan respirasi yang bertujuan untuk mempertahankan hidupnya dengan cara merombak pati menjadi gula . Pada proses tersebut, dihasilkan air secara terus menerus sehingga mengakibatkan kelayuan saat penyimpanan karena praktis tidak ada suplai air lagi. Salah satu cara untuk memperpanjang masa simpan buah dan sayur adalah dengan penyimpanan pada suhu rendah agar aktivitas mikroba, enzim, maupun respirasi dapat dihambat (Zulkarnaen, 2009).
Pematangan buah yaitu mengacu pada perubahan yang terjadi setelah pendewasaan penuh, yang dicirikan oleh melunaknya daging buah, terbentuknya karakteristik aroma, dan peningkatan kandungan cairan buah (Zulkarnaen, 2009). Dalam sekala rumahan buah dipetik pada saat sudah masak, pada sekala besar buah dipetik dalam keadaan belum matang agar buah-buahan tidak cepat busuk. Proses pematangan buah diatur oleh hormone pengatur penuaan atau pematangan buah. Contohnya adalah etilen, calcium carbide, penambahan daun-daunan dan asap dari materi yang menyala (Isbandi, 1983). Pemasakan buah merupakan salah satu hasil metabolisme jaringan tanaman pada kondisi pemasakan buah merupakan hal yang diharapkan oleh petani, pedagang dan konsumen buah-buahan, karena buah tersebut akan segera dikonsumsi. Akan tetapi pada konsisi lain pemasakan buah merupakan kerugian, sehingga tidak diharapkan. Hal ini apabila buah tersebut tidak segera dikonsumsi karena masih mengalami periode transportasi yang jauh dan memakan waktu yang tidak singkat. Untuk kasus kedua ini para pengelola buah-buahan baik petani, pedagang atau industri pengelola berusaha semaksimal mungkin agar buah mengalami pemasakan pada waktu yang tepatatau sesuai dengan waktu yang diinginkan.
Berbagai usaha untuk mengendalikan buah agar tidak segera masak, yang telah dilakukan diantaranya yaitu pelilinan, pendinginan, pengendalian dengan cara CA (Controlled Atmosphere), MAP (Modified Atmosphere Package) dan lainnya. Salah satu cara lagi adalah pengendalian dengan cara penyerapan terhadap gas etilen (C2H4). Hal ini berdasarkan atas kenyataan bahwa peran etilen yang dihasilkan oleh buah itu sendiri sangat mempengaruhi terhadap kecepatan pemasakan buah. Buah-buahan yang sudah tua dan menjelang masak akan menghasilkan gas etilen yang cukup banyak, dan gas ini akan memacu terhadap pemasakan buah. Produksi etilen sendiri akan dipacu dengan adanya udara (Oksigen) dan suhu. Kondisi udara semakin banyak dan suhu semakin tinggi akan memacu adanya respirasi yang diantaranya memproduksi gas etilen. Untuk mengendalikan pemasakan tersebut maka gas etilen harus segera dikurangi disekitar kumpulan buah. Untuk mengurangi gas etilen tersebut diantaranya dapat menggunakan zat penyerap gas.
Berdasarkan laju respirasinya buah dibedakan menjadi dua yaitu buah klimaterik (laju respirasi meningkat dengan tajam selama periode pematangan dan pada awal senesen) dan nonklimaterik (tidak ada perubahan laju respirasi pada akhir pematangan buah) (Zulkarnaen, 2009). Contoh buah klimaterik adalah avokad, papaya, apel, pisang dan lain-lain sedangkan contoh buah nonklimaterik adalah jeruk, nanas, durian, dan lain-lain (Ayimada, 2008).
Praktikum pemasakan buah ini menggunakan buah mangga yang merupakan buah klimaterik dan apel yang merupakan buah non klimaterik sebagai objek untuk melihat pengaruh etilen dan zat penyerap gas etilen (KMnO4, kapur, dan vitamin C) terhadap mutu buah.
Etilen adalah senyawa hidrokarbon tidak jenuh yang pada suhu kamar berbentuk gas. Senyawa ini dapat menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan penting dalam proses pertumbuhan dan pematangan hasil-hasil pertanian. Menurut Abidin (1985) etilen adalah hormon tumbuh yang secara umum berlainan dengan auksin, giberellin dan sitokinin. Dalam keadaan normal, etilen akan berbentuk gas dan struktur kimianya sangat sederhana sekali. Di alam etilen akan berperan apabila terjadi perubahan secara fisiologis pada suatu tanaman. Hormon ini akan berperan dalam proses pematangan buah dalam fase klimaterik. Jadi dapat disimpulkan bahwa gas etilen mempercepat pematangan buah pada buah klimaterik.
Pada awal praktikum diuji buah mangga dan apel sebagai kontrol. Hal-hal yang harus diuji adalah susut bobot, kekerasan, pH, sensori, dan tanda fisiologis. Pada kontrol tidak diberi zat penyerap apapun, waktu perlakuannya pun hanya 3 hari. Dari hasil didapat bahwa pada kontrol buah mangga maupun apel hari kedua buah tersebut masih dalam keadaan mentah, berwarna hijau, pada mangga pH 3, sedangkan apel pH 4. Setelah hari ketiga mangga mengalami susut bobot sebesar 0.67%, dan apel 0.58%. kekerasan pada hari ketiga berkurang baik apel maupun mangga, namun tidak terlalu signifikan.
Pengujian dilakukan 6 hari untuk kedua buah, masing-masing diuji tiga buah. Diuji 2 hari satu buah. Yaitu hari ke 2, 4, dan 6. Perlakuan yang diberikan adalah pemberian karbit (KMnO4), kapur, dan vitamin C. Dari hari pertama hingga ke 6, mangga maupun apel mengalami perubahan, yaitu mengalami penurunan bobot, penurunan kekerasan, perubahan pH, dan sensori.
Usaha untuk mengurangi etilen akan mengakibatkan tertundanya kematangan dan mempertahankan kesegaran serta memperpanjang umur simpan (Pantastico et. Al, 1989). Pada buah klimaterik respon etilen hanya berpengaruh pada saat fase pre-klimaterik sedangkan pada buah non-klimaterik aktivitas respirasi dan pematangan daat dipercepat pada semua fase tahap pematangan. Dengan adanya etilen, proses respirasi akan berlangsung cepat dan ikut dalam proses reaksi pemasakan. Semakin matang buah, produksi etilen semakin menurun. Adanya perlakuan tertentu yang dapat mengurangi kandungan etilen disekitar buah dapat memperpanjang umur simpan buah tersebut.
Penyerapan etilen yang digunakan adalah KMnO4, karbon aktif dan mineral-mineral yang dibungkus dengan kertas saring. Penggunaan KMnO4 dianggap mempunyai potensi besar karena sifatnya yang tidak mudah menguap sehingga dapat disimpan berdekatan dengan buah tanpa menimbulkan kerusakan (mengurangi mutu buah). Secara umum, perlakuan bahan penyerap etilen, yaitu KMnO4, memberikan pengaruh terhadap penghambatan pematangan, dengan dapat ditekannya produksi etilen dan dapat dipertahankan warna hijau, tekstur, aroma buah, kekerasan, tingginya kadar pati, dan susut bobot yang cenderung rendah (Muchtadi et al, 1992). Pada hasil pengamatan perlakuan karbit pada buah mangga dari hari ke 1 sampai 6 memiliki susut bobot yang rendah yaitu berkisar 0,62% hingga 6,85%. Kekerasan pun menurun setiap harinya namun tidak berpengaruh secara drastis. pH jus cenderung sama yaitu berkisar pada 3, perubahan sensori yaitu warna cenderung hijau, aroma mangga mentah (asam), dan semakin lunak tiap harinya. Pada buah apel perubahan cenderung tidak terlihat atau tidak terjadi perubahan yang signifikan. Hal ini disebabkan buah mangga merupakan buah klimaterik sedangkan apel merupakan buah non klimaterik. Hal ini berjalan sesuai dengan literatur yang ada.
Perlakuan selanjutnya yaitu pemberian kapur halus yang sebelumnya telah dibungkus terlebih dahulu di dalam kertas saring. Kapur diberikan pada masing-masing sampel, yaitu masing-masing plastik terdiri dari 3 buah. Plastik yang berisi 3 buah mangga dan plastik yang berisi 3 buah apel, yang kemudian per buah akan diuji pada hari ke 2, 4, 6.
Pemberian  kapur tohor (CaO) dimaksudkan untuk mengikat CO2 serta disimpan ditempat yang kering dan teduh sehingga penimbunan etilen dapat ditekan serendah mungkin (Tranggono, 1989). Buah yang masih berwarna kehijau-hijauan (sudah tua tapi belum matang) bila  setelah dipetik langsung disimpan dengan cara ini dapat dipertahankan kesegarannya sampai 2 minggu. Pada hasil praktikum didapat bahwa buah mangga yang diberi kapur mempunyai perubahan susut bobot yang sangat rendah yaitu berkisar antara 0,87% - 1,4% hingga hari ke 6, sedangkan apel reatif lebih kecil yaitu 0,4& - 1,1%. pH pada mangga yaitu konstan 3 hingga hari ke 6, pada apel pun demikian, yaitu 4 hingga hari ke 6. Perubahan kekerasab dan sensori secara kasat mata tidak begitu terlihan. Namun terjadi penurunan kekerasan, akan tetapi masih relatif rendah dibandingkan penyimpanan dengan karbit (KMnO4).
Pengaruh vitamin C terhadap mutu komoditi apel menurut Apandi (1984) adalah sebagai absorben/penyerap oksigen yang terlibat langsung dalam proses respirasi. Penurunan konsentrasi O2 (atau sebaliknya, peningkatan konsentrasi CO2) hingga konsentrasi yang belum memicu terjadinya fermentasi menjadi salah satu parameter utama teknologi pengemasan buah. Pada umumnya, penurunan O2 akan menurunkan laju respirasi, yang selanjutnya akan menghambat pemasakan buah, sehingga mampu memperpanjang masa simpannya. Adapun pengaruh lain yaitu susutnya bobot buah apabila O2 menurun dan CO2 meningkat. Adanya kehilangan bobot ini disebabkan oleh meningkatnya laju respirasi yang menyebabkan perombakan senyawa seperti karbohidrat dalam buah dan menghasilkan CO2, energi, dan air yang menguap melalui permukaan kulit buah. Dari hasil pengamatan didapat susut bobot sebesar 1,7336% pada hari ketiga dengan pH turun dari 4 menjadi 3, kemudian tekstur berubah sedikit lunak, permukaan buah semakin halus/licin, dan timbulnya bercak lebih banyak.
Pengaruh vitamin C terhadap mutu komoditi mangga menurut Kader dan Morris (1997) adalah sebagai bahan penyerap oksigen (oxygen scavenger) yang dapat mengurangi konsentrasi oksigen pada level yang sangat rendah (ultra-low level). Bahan penyerap oksigen secara aktif akan menurunkan konsentrasi oksigen di dalam head-space kemasan hingga 0.01%, mencegah terjadinya proses oksidasi, perubahan warna dan pertumbuhan mikrooorganisme. Jika kapasitas absorber mencukupi, maka absorber juga dapat menyerap oksigen yang masuk ke dalam head-space kemasan melalui lubang-lubang dan memperpanjang umur simpan bahan yang dikemas. Adapun pengaruh lain yaitu susutnya bobot buah apabila O2 menurun dan CO2 meningkat. Seperti pada pengamatan buah mangga dengan pengaruh vitamin C didapat susut bobot sebesar 14,12% pada hari ketiga dengan pH tetap 3, kemudian tekstur berubah sedikit lunak, baunya menjadi busuk, dan timbulnya bercak coklat lebih banyak.
Kondisi terbaik untuk penyimpanan apel adalah pada suhu rendah yaitu sekitar suhu 32°-33°F atau 0°-6°C misalnya di dalam ruang pendingin karena akan membuat apel tersebut tetap segar selama 4-8 bulan. Selain itu buah apel tidak boleh disimpan bersama-sama dengan bahan-bahan lain yang mempunyai bau kuat, misalnya bawang, minyak tanah, dan sebagainya karena buah apel dapat mengabsorbsi bau (Soelarsoe, 1998). Bila disimpan pada suhu rendah sekitar 5°C kecepatan respirasi buah apel juga rendah hanya mencapai 3 mg CO2/kg/hari sehingga mampu bertahan 3-8 bulan sedangkan apabila dibandingkan penyimpanan pada suhu ruang 25°C kecepatan respirasinya mencapai 30 mg CO2/kg/hari (Tranggono, 1989). Bahan tambahan yang perlu digunakan adalah lilin yang digunakan sebagai pelapis/waxing sebagai usaha menunda kematangan untuk menghambat proses metabolisme buah karena setelah dipanen buah masih tetap hidup sehingga akan tetap melakukan proses metabolisme yang akan menyebabkan terjadinya perubahan komposisi kimiawi serta mutu dari komoditi tersebut. Tujuan pelilinan pada komoditi yang disimpan ini terutama adalah untuk mengambat sirkulasi udara dan menghambat kelayuan sehingga komoditi yang disimpan tidak cepat kehilangan berat karena adanya proses transpirasi/penguapan uap air dari dalam komoditi.  Sedangkan untuk produk buah apel sendiri biasanya menggunakan bahan tambahan makanan yang dapat memperkeras atau mencegah lunaknya makanan seperti Ca sulfat pada buah apel kalengan (Eckert, 1996).
Kondisi terbaik untuk penyimpanan mangga adalah pada suhu 13°-14,5°C dan pada kadar CO2 dan O2 sebesar 5% karena dapat meningkatkan umur simpan buah mangga paling tinggi. Mangga hanya mempunyai toleransi yang rendah terhadap CO2. Pada tingkat kandungan 15% CO2, buah mangga tidak menjadi merah atau jingga seperti biasa namun rasa dan aromanya baik (Desrosier, 1988). Bahan tambahan yang perlu digunakan bila masih berbentuk komoditi sama seperti apel menggunakan lilin, namun untuk mangga bahan tambahan biasanya digunakan saat mangga sudah menjadi produk. Misalnya bahan tambahan yang digunakan adalah antioksidan dan antioksidan sinergis untuk produk buah kalengan digunakan untuk mencegah terjadinya proses oksidasi maupun bahan pengawet seperti asam benzoat dan garamnya serta ester para-hidroksi benzoat untuk produk buah-buahan yang dapat mencegah fermentasi, pengasaman atau penguraian lain terhadap makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme (Kartasaputra, 1986).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar