Buah dan sayur merupakan jenis
pangan yang mudah rusak karena kandungan airnya yang cukup tinggi sehingga
memungkinkan bakteri dan mikroba lain tumbuh di dalamnya dan hal ini bisa
menurunkan mutu pangan. Penurunan mutu tersebut disebabkan karena sayur dan buah
setelah dipetik masih melakukan proses metabolisme dan aktivitas respirasi.
Jaringan pada buah dan sayur yang telah dipetik aktif melakukan respirasi yang
bertujuan untuk mempertahankan hidupnya dengan cara merombak pati menjadi gula
. Pada proses tersebut, dihasilkan air secara terus menerus sehingga
mengakibatkan kelayuan saat penyimpanan karena praktis tidak ada suplai air
lagi. Salah satu cara untuk memperpanjang masa simpan buah dan sayur adalah
dengan penyimpanan pada suhu rendah agar aktivitas mikroba, enzim, maupun
respirasi dapat dihambat (Zulkarnaen, 2009).
Pematangan buah yaitu mengacu pada
perubahan yang terjadi setelah pendewasaan penuh, yang dicirikan oleh
melunaknya daging buah, terbentuknya karakteristik aroma, dan peningkatan
kandungan cairan buah (Zulkarnaen, 2009). Dalam sekala rumahan buah dipetik
pada saat sudah masak, pada sekala besar buah dipetik dalam keadaan belum
matang agar buah-buahan tidak cepat busuk. Proses pematangan buah diatur oleh
hormone pengatur penuaan atau pematangan buah. Contohnya adalah etilen, calcium
carbide, penambahan daun-daunan dan asap dari materi yang menyala (Isbandi,
1983). Pemasakan buah merupakan salah satu hasil metabolisme jaringan tanaman
pada kondisi pemasakan buah merupakan hal yang diharapkan oleh petani, pedagang
dan konsumen buah-buahan, karena buah tersebut akan segera dikonsumsi. Akan
tetapi pada konsisi lain pemasakan buah merupakan kerugian, sehingga tidak
diharapkan. Hal ini apabila buah tersebut tidak segera dikonsumsi karena masih
mengalami periode transportasi yang jauh dan memakan waktu yang tidak singkat.
Untuk kasus kedua ini para pengelola buah-buahan baik petani, pedagang atau
industri pengelola berusaha semaksimal mungkin agar buah mengalami pemasakan
pada waktu yang tepatatau sesuai dengan waktu yang diinginkan.
Berbagai usaha untuk mengendalikan buah agar tidak segera masak, yang telah dilakukan diantaranya yaitu pelilinan, pendinginan, pengendalian dengan cara CA (Controlled Atmosphere), MAP (Modified Atmosphere Package) dan lainnya. Salah satu cara lagi adalah pengendalian dengan cara penyerapan terhadap gas etilen (C2H4). Hal ini berdasarkan atas kenyataan bahwa peran etilen yang dihasilkan oleh buah itu sendiri sangat mempengaruhi terhadap kecepatan pemasakan buah. Buah-buahan yang sudah tua dan menjelang masak akan menghasilkan gas etilen yang cukup banyak, dan gas ini akan memacu terhadap pemasakan buah. Produksi etilen sendiri akan dipacu dengan adanya udara (Oksigen) dan suhu. Kondisi udara semakin banyak dan suhu semakin tinggi akan memacu adanya respirasi yang diantaranya memproduksi gas etilen. Untuk mengendalikan pemasakan tersebut maka gas etilen harus segera dikurangi disekitar kumpulan buah. Untuk mengurangi gas etilen tersebut diantaranya dapat menggunakan zat penyerap gas.
Berbagai usaha untuk mengendalikan buah agar tidak segera masak, yang telah dilakukan diantaranya yaitu pelilinan, pendinginan, pengendalian dengan cara CA (Controlled Atmosphere), MAP (Modified Atmosphere Package) dan lainnya. Salah satu cara lagi adalah pengendalian dengan cara penyerapan terhadap gas etilen (C2H4). Hal ini berdasarkan atas kenyataan bahwa peran etilen yang dihasilkan oleh buah itu sendiri sangat mempengaruhi terhadap kecepatan pemasakan buah. Buah-buahan yang sudah tua dan menjelang masak akan menghasilkan gas etilen yang cukup banyak, dan gas ini akan memacu terhadap pemasakan buah. Produksi etilen sendiri akan dipacu dengan adanya udara (Oksigen) dan suhu. Kondisi udara semakin banyak dan suhu semakin tinggi akan memacu adanya respirasi yang diantaranya memproduksi gas etilen. Untuk mengendalikan pemasakan tersebut maka gas etilen harus segera dikurangi disekitar kumpulan buah. Untuk mengurangi gas etilen tersebut diantaranya dapat menggunakan zat penyerap gas.
Berdasarkan laju respirasinya buah
dibedakan menjadi dua yaitu buah klimaterik (laju respirasi meningkat dengan
tajam selama periode pematangan dan pada awal senesen) dan nonklimaterik (tidak
ada perubahan laju respirasi pada akhir pematangan buah) (Zulkarnaen, 2009).
Contoh buah klimaterik adalah avokad, papaya, apel, pisang dan lain-lain
sedangkan contoh buah nonklimaterik adalah jeruk, nanas, durian, dan lain-lain
(Ayimada, 2008).
Praktikum pemasakan buah ini
menggunakan buah mangga yang merupakan buah klimaterik dan apel yang merupakan
buah non klimaterik sebagai objek untuk melihat pengaruh etilen dan zat
penyerap gas etilen (KMnO4, kapur, dan vitamin C)
terhadap mutu buah.
Etilen adalah senyawa hidrokarbon
tidak jenuh yang pada suhu kamar berbentuk gas. Senyawa ini dapat menyebabkan
terjadinya perubahan-perubahan penting dalam proses pertumbuhan dan pematangan
hasil-hasil pertanian. Menurut Abidin (1985) etilen adalah hormon tumbuh yang
secara umum berlainan dengan auksin, giberellin dan sitokinin. Dalam keadaan
normal, etilen akan berbentuk gas dan struktur kimianya sangat sederhana
sekali. Di alam etilen akan
berperan apabila terjadi perubahan secara fisiologis pada suatu tanaman. Hormon
ini akan berperan dalam proses pematangan buah dalam fase klimaterik. Jadi
dapat disimpulkan bahwa gas etilen mempercepat pematangan buah pada buah
klimaterik.
Pada
awal praktikum diuji buah mangga dan apel sebagai kontrol. Hal-hal yang harus
diuji adalah susut bobot, kekerasan, pH, sensori, dan tanda fisiologis. Pada
kontrol tidak diberi zat penyerap apapun, waktu perlakuannya pun hanya 3 hari.
Dari hasil didapat bahwa pada kontrol buah mangga maupun apel hari kedua buah tersebut
masih dalam keadaan mentah, berwarna hijau, pada mangga pH 3, sedangkan apel pH
4. Setelah hari ketiga mangga mengalami susut bobot sebesar 0.67%, dan apel
0.58%. kekerasan pada hari ketiga berkurang baik apel maupun mangga, namun
tidak terlalu signifikan.
Pengujian
dilakukan 6 hari untuk kedua buah, masing-masing diuji tiga buah. Diuji 2 hari
satu buah. Yaitu hari ke 2, 4, dan 6. Perlakuan yang diberikan adalah pemberian
karbit (KMnO4), kapur, dan vitamin C. Dari hari pertama hingga ke 6,
mangga maupun apel mengalami perubahan, yaitu mengalami penurunan bobot,
penurunan kekerasan, perubahan pH, dan sensori.
Usaha
untuk mengurangi etilen akan mengakibatkan tertundanya kematangan dan
mempertahankan kesegaran serta memperpanjang umur simpan (Pantastico et. Al,
1989). Pada buah klimaterik respon etilen hanya berpengaruh pada saat fase
pre-klimaterik sedangkan pada buah non-klimaterik aktivitas respirasi dan
pematangan daat dipercepat pada semua fase tahap pematangan. Dengan adanya
etilen, proses respirasi akan berlangsung cepat dan ikut dalam proses reaksi
pemasakan. Semakin matang buah, produksi etilen semakin menurun. Adanya
perlakuan tertentu yang dapat mengurangi kandungan etilen disekitar buah dapat
memperpanjang umur simpan buah tersebut.
Penyerapan
etilen yang digunakan adalah KMnO4, karbon aktif dan mineral-mineral yang
dibungkus dengan kertas saring. Penggunaan KMnO4 dianggap mempunyai potensi
besar karena sifatnya yang tidak mudah menguap sehingga dapat disimpan
berdekatan dengan buah tanpa menimbulkan kerusakan (mengurangi mutu buah).
Secara umum, perlakuan bahan penyerap etilen, yaitu KMnO4, memberikan pengaruh
terhadap penghambatan pematangan, dengan dapat ditekannya produksi etilen dan
dapat dipertahankan warna hijau, tekstur, aroma buah, kekerasan, tingginya
kadar pati, dan susut bobot yang cenderung rendah (Muchtadi et al, 1992). Pada
hasil pengamatan perlakuan karbit pada buah mangga dari hari ke 1 sampai 6
memiliki susut bobot yang rendah yaitu berkisar 0,62% hingga 6,85%. Kekerasan
pun menurun setiap harinya namun tidak berpengaruh secara drastis. pH jus
cenderung sama yaitu berkisar pada 3, perubahan sensori yaitu warna cenderung
hijau, aroma mangga mentah (asam), dan semakin lunak tiap harinya. Pada buah
apel perubahan cenderung tidak terlihat atau tidak terjadi perubahan yang
signifikan. Hal ini disebabkan buah mangga merupakan buah klimaterik sedangkan
apel merupakan buah non klimaterik. Hal ini berjalan sesuai dengan literatur
yang ada.
Perlakuan
selanjutnya yaitu pemberian kapur halus yang sebelumnya telah dibungkus
terlebih dahulu di dalam kertas saring. Kapur diberikan pada masing-masing
sampel, yaitu masing-masing plastik terdiri dari 3 buah. Plastik yang berisi 3
buah mangga dan plastik yang berisi 3 buah apel, yang kemudian per buah akan
diuji pada hari ke 2, 4, 6.
Pemberian kapur tohor (CaO) dimaksudkan untuk mengikat
CO2 serta disimpan ditempat yang kering dan teduh sehingga
penimbunan etilen dapat ditekan serendah mungkin (Tranggono, 1989).
Buah yang masih berwarna kehijau-hijauan (sudah tua tapi belum matang)
bila setelah dipetik langsung disimpan dengan cara ini dapat
dipertahankan kesegarannya sampai 2 minggu. Pada hasil praktikum didapat bahwa
buah mangga yang diberi kapur mempunyai perubahan susut bobot yang sangat
rendah yaitu berkisar antara 0,87% - 1,4% hingga hari ke 6, sedangkan apel
reatif lebih kecil yaitu 0,4& - 1,1%. pH pada mangga yaitu konstan 3 hingga
hari ke 6, pada apel pun demikian, yaitu 4 hingga hari ke 6. Perubahan kekerasab
dan sensori secara kasat mata tidak begitu terlihan. Namun terjadi penurunan
kekerasan, akan tetapi masih relatif rendah dibandingkan penyimpanan dengan
karbit (KMnO4).
Pengaruh vitamin
C terhadap mutu komoditi apel menurut Apandi (1984) adalah sebagai
absorben/penyerap oksigen yang terlibat langsung dalam proses respirasi.
Penurunan konsentrasi O2 (atau sebaliknya, peningkatan konsentrasi
CO2) hingga konsentrasi yang belum memicu terjadinya fermentasi
menjadi salah satu parameter utama teknologi pengemasan buah. Pada umumnya,
penurunan O2 akan menurunkan laju respirasi, yang selanjutnya akan
menghambat pemasakan buah, sehingga mampu memperpanjang masa simpannya. Adapun
pengaruh lain yaitu susutnya bobot buah apabila O2 menurun dan CO2
meningkat. Adanya
kehilangan bobot ini disebabkan oleh
meningkatnya laju respirasi yang menyebabkan perombakan senyawa seperti
karbohidrat dalam buah dan menghasilkan CO2, energi, dan air yang menguap melalui
permukaan kulit buah. Dari hasil
pengamatan didapat susut bobot sebesar 1,7336% pada hari ketiga dengan pH turun
dari 4 menjadi 3, kemudian tekstur berubah sedikit lunak, permukaan buah
semakin halus/licin, dan timbulnya bercak lebih banyak.
Pengaruh vitamin C terhadap mutu
komoditi mangga menurut Kader dan Morris (1997) adalah sebagai bahan penyerap
oksigen (oxygen scavenger) yang dapat
mengurangi konsentrasi oksigen pada level yang sangat rendah (ultra-low
level). Bahan penyerap oksigen secara aktif akan menurunkan konsentrasi
oksigen di dalam head-space kemasan hingga 0.01%, mencegah terjadinya proses
oksidasi, perubahan warna dan pertumbuhan mikrooorganisme. Jika kapasitas
absorber mencukupi, maka absorber juga dapat menyerap oksigen yang masuk ke dalam
head-space kemasan melalui lubang-lubang dan memperpanjang umur simpan bahan
yang dikemas. Adapun pengaruh lain yaitu susutnya bobot buah apabila O2
menurun dan CO2 meningkat. Seperti pada pengamatan buah mangga
dengan pengaruh vitamin C didapat susut bobot sebesar 14,12% pada hari ketiga
dengan pH tetap 3, kemudian
tekstur berubah sedikit lunak, baunya menjadi busuk, dan timbulnya bercak
coklat lebih banyak.
Kondisi terbaik
untuk penyimpanan apel adalah pada suhu rendah yaitu sekitar suhu 32°-33°F atau
0°-6°C misalnya di dalam ruang pendingin karena akan membuat apel tersebut
tetap segar selama 4-8 bulan. Selain itu buah apel tidak boleh disimpan
bersama-sama dengan bahan-bahan lain yang mempunyai bau kuat, misalnya bawang,
minyak tanah, dan sebagainya karena buah apel dapat mengabsorbsi bau
(Soelarsoe, 1998). Bila disimpan pada suhu rendah sekitar 5°C kecepatan
respirasi buah apel juga rendah hanya mencapai 3 mg CO2/kg/hari
sehingga mampu bertahan 3-8 bulan sedangkan apabila dibandingkan penyimpanan
pada suhu ruang 25°C kecepatan respirasinya mencapai 30
mg CO2/kg/hari (Tranggono, 1989). Bahan tambahan yang perlu
digunakan adalah lilin yang digunakan sebagai pelapis/waxing sebagai usaha
menunda kematangan untuk menghambat proses metabolisme buah karena setelah
dipanen buah masih tetap hidup sehingga akan tetap melakukan proses metabolisme
yang akan menyebabkan terjadinya perubahan komposisi kimiawi serta mutu dari
komoditi tersebut. Tujuan pelilinan pada komoditi yang disimpan ini terutama
adalah untuk mengambat sirkulasi udara dan menghambat kelayuan sehingga
komoditi yang disimpan tidak cepat kehilangan berat karena adanya proses
transpirasi/penguapan uap air dari dalam komoditi. Sedangkan untuk produk buah apel sendiri
biasanya menggunakan bahan tambahan makanan yang dapat memperkeras atau
mencegah lunaknya makanan seperti Ca sulfat pada buah apel kalengan (Eckert,
1996).
Kondisi terbaik untuk penyimpanan
mangga adalah pada suhu 13°-14,5°C dan pada kadar CO2 dan O2
sebesar 5% karena dapat meningkatkan umur simpan
buah mangga paling tinggi. Mangga hanya mempunyai toleransi yang rendah
terhadap CO2. Pada tingkat kandungan 15% CO2, buah mangga
tidak menjadi merah atau jingga seperti biasa namun rasa dan aromanya baik
(Desrosier, 1988). Bahan tambahan yang perlu digunakan bila masih berbentuk
komoditi sama seperti apel menggunakan lilin, namun untuk mangga
bahan tambahan biasanya digunakan saat mangga sudah menjadi produk. Misalnya
bahan tambahan yang digunakan adalah antioksidan dan antioksidan sinergis untuk
produk buah kalengan digunakan untuk mencegah terjadinya proses oksidasi maupun
bahan pengawet seperti asam benzoat dan garamnya serta ester para-hidroksi
benzoat untuk produk buah-buahan yang dapat mencegah fermentasi, pengasaman
atau penguraian lain terhadap makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme
(Kartasaputra, 1986).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar