Limbah Industri Pangan di Lingkungan: Makanan Sisa
Merupakan Penghasil Karbon Terbesar Ketiga di Dunia
Newswire Rabu,
11/09/2013 17:59 WIB
Gambar Ilustrasi Makanan (Wikipedia)
Kabar24.com, ROMA- Makanan sisa yang terbuang di seluruh penjuru dunia
merupakan penghasil emisi gas rumah kaca yang lebih besar dari kebanyakan
negara kecuali China dan Amerika Serikat, kata Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB)
dalam sebuah laporan, Rabu (11/9).
Setiap
tahun sekitar sepertiga dari semua makanan untuk konsumsi manusia, yang
berjumlah sekitar 1,3 miliar ton terbuang, bersama dengan semua energi, air,
dan beragam bahan kimia yang diperlukan untuk memproduksi dan membuangnya. Hampir
30% lahan pertanian di dunia dan sejumlah air yang setara dengan debit tahunan
Sungai Volga, digunakan sia-sia.
Di dunia
industri, banyak limbah diakibatkan karena konsumen membeli terlalu banyak
makanan dan membuang apa yang mereka tidak konsumsi. Menurut FAO,
54% pangan terbuang saat pangan tersebut diproduksi, dipanen dan disimpan.
Sementara 46% limbah terjadi saat pangan tersebut diolah, dikirim dan
dikonsumsi.
Dalam
laporannya yang berjudul "Jejak Makanan yang Terbuang", Organisasi
Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa Bangsa (FAO) memperkirakan bahwa
jumlah jejak karbon dari makanan yang terbuang itu setara dengan 3,3 miliar ton
karbon dioksida per tahun.
Jika itu
adalah sebuah negara, itu akan menjadi negara penghasil karbon terbesar ketiga di
dunia setelah China dan Amerika Serikat, yang menunjukkan bahwa penggunaan
pangan yang lebih efisien dapat memberikan kontribusi substansial bagi upaya
global untuk memotong emisi gas rumah kaca guna membatasi pemanasan global.
Sementara
di negara berkembang, hal itu terutama disebabkan karena teknologi pertanian
tidak efisien dan kurangnya fasilitas penyimpanan yang tepat.
"Pengurangan
pemborosan makanan tidak hanya akan menghindari tekanan pada sumber daya alam
yang langka, tetapi juga mengurangi kebutuhan untuk menaikkan produksi pangan
sebesar 60% dalam rangka memenuhi permintaan pangan penduduk dunia pada
2050," kata FAO.
FAO
menyarankan untuk meningkatkan komunikasi antara produsen dan konsumen guna
mengelola rantai pasokan yang lebih efisien, juga menyediakan investasi lebih
dalam metode pemanenan, pendinginan dan pengemasan.
FAO
memperkirakan biaya makanan yang terbuang, termasuk ikan dan makanan laut,
sekitar 750 miliar dolar AS per tahun, berdasarkan harga di tingkat produsen.
Makanan
yang terbuang membutuhkan sekitar 250 km kubik air dan memakan sekitar 1,4
miliar hektar lahan. Sebagian besar dari lahan itu mengakibatkan berkurangnya
keragaman habitat. (Antara)
Editor: Andhina
Wulandari
PEMBAHASAN REVIEW ARTIKEL
Permasalahan
pencemaran industri khususnya industri pangan yang terjadi dalam kasus tersebut
yaitu banyaknya limbah makanan di lingkungan. Sumber limbah ini berasal dari
aktivitas manusia sebagai konsumen yang membeli terlalu banyak makanan namun
membuang yang tidak dikonsumsi dan sering tidak menghabiskan makanannya. Selain
makanan yang sudah dibeli konsumen, limbah juga berasal dari produsen yang
membuang bahan baku seperti sayuran, buah, sereal, roti, ikan, dan daging.
Bahan baku tersebut sudah tidak layak digunakan akibat penyimpanan yang tidak
baik, penanganan bahan yang kurang, pengemasan yang tidak sesuai, maupun cacat
fisik saat transportasi sehingga meningkatkan jumlah limbah.
Limbah
makanan sisa dari industri-industri pangan yang semakin menjamur berdampak
buruk terhadap lingkungan karena terbukti meningkatkan emisi gas rumah kaca. Selain
itu, limbah tersebut juga menimbulkan pencemaran air karena limbah/ sampah yang
dibuang di air bersifat organik. Limbah makanan sisa (organik terlarut) dapat membunuh
spesies air bersih dan membuat berkurangnya habitat untuk spesies tersebut. Dampak
lainnya adalah boros dalam pemakaian energi, lahan pertanian, air, dan
bahan-bahan kimia yang digunakan untuk memproduksi makanan tersebut tetapi
dibuang karena tidak dikonsumsi.
Makanan-makanan
sisa tersebut terbuang sebanyak 1,3 miliar ton per tahun dan menghasilkan sebanyak
3,3 miliar ton karbon dioksida per tahun. Gas karbon dioksida (CO2) adalah
gas utama penyebab efek rumah kaca. Karbon dioksida adalah gas yang secara
alamiah merupakan unsur atmosfir (bersama O2, H2, H2O,
dan lain-lain) yang berkarakteristik tidak beracun, tidak berbau, dan tidak
berwarna. Karbon dioksida muncul secara alami di lingkungan akibat pernapasan
makhluk hidup, pencernaan hewan ternak, letusan vulkanik, dan pembakaran
material, maupun muncul akibat aktivitas manusia seperti pembakaran hutan. Jika
pohon-pohon atau tumbuhan mati maka akan
melepaskan karbon dioksida yang tersimpan di dalam jaringannya ke atmosfer. Gas
rumah kaca bekerja dengan menyerap sebagian radiasi infra merah yang
dipancarkan bumi, dan menyebarkannya kembali ke berbagai arah lalu menimbulkan
efek rumah kaca.
Efek rumah
kaca adalah suatu keadaan dimana gas-gas kimia dalam atmosfir menghalangi
radiasi sinar matahari yang dipantulkan dari bumi ke luar angkasa dengan kata
lain seperti menahan panas yang terakumulasi di permukaan bumi dan pada lapisan
atmosfir yang lebih rendah. Pada jumlah yang sesuai, efek rumah kaca sangat
baik untuk melindungi bumi dan menjaga bumi agar tetap hangat di tengah-tengah
ruang angkasa yang dingin. Namun jika gas rumah kaca semakin bertambah dapat menyebabkan
terjadinya pemanasan global (global
warming) atau peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi. Cakupan korban
dampak pemanasan global tersebut berhubungan dengan keberlangsungan hidup
seluruh umat manusia, tumbuhan, dan hewan di bumi sendiri.
Pemanasan
global sendiri lebih dikenal akibat polusi gas rumah kaca di sektor
transportasi yaitu dari gas hasil pembakaran bahan bakar fosil di kendaraan bermotor.
Hal ini memprihatinkan, karena bukti lain yaitu dari kebiasaan manusia yang
sering membuang-buang makanan ternyata menjadi sumber penyebab meningkatnya pemanasan
global sendiri. Peningkatan pemanasan global membuat perubahan cuaca yang
ekstrem sehingga tidak dapat dikenali dan sulit diprediksi. Hal ini termasuk
curah hujan yang tinggi dalam waktu singkat, angin kencang, badai, puting
beliung, banjir, tanah longsor, gelombang laut yang besar, dan peningkatan
permukaan laut yang signifikan.
Penanganan
permasalahan ini adalah seperti yang dianjurkan oleh Organisasi Pangan dan
Pertanian Perserikatan Bangsa Bangsa (FAO) yaitu penggunaan pangan yang lebih
efisien agar dapat memberikan kontribusi substansial bagi upaya global untuk
memotong emisi gas rumah kaca. Pengurangan pemborosan makanan tidak hanya akan
menghindari tekanan pada sumber daya alam yang langka, tetapi juga mengurangi
kebutuhan untuk menaikkan produksi pangan sebesar 60% dalam rangka memenuhi
permintaan pangan penduduk dunia pada tahun 2050. FAO menyarankan untuk
meningkatkan komunikasi antara produsen dan konsumen guna mengelola rantai
pasokan yang lebih efisien, juga menyediakan investasi lebih dalam metode
pemanenan, pendinginan, dan pengemasan.
Upaya lain
yang dapat dilakukan yaitu konsumen didorong untuk memesan makanan dengan porsi
yang lebih kecil atau jika ingin memesan porsi yang besar harus dihabiskan,
paling tidak meminimalkan makanan yang tersisa. Konsumen juga harus dimotivasi
untuk memiliki kesadaran bahwa dari hal yang dianggap kecil dapat menimbulkan
masalah yang besar yang menyangkut keberlangsungan hidup seluruh makhluk di
bumi. Selain dari kesadaran moral, konsumen harus sadar sosial bahwa masih banyak
orang yang kelaparan karena tidak dapat makan. Dari sisi produsen juga
disarankan untuk meminimalkan penggunaan energi yang berpengaruh terhadap emisi
gas rumah kaca dan pembuangan bahan baku segar yang masih cacat sedikit karena
tampilan. Dengan begitu limbah makanan sisa dan penggunaan energi semakin
berkurang sehingga dapat menjaga kebersihan lingkungan dan mengurangi emisi gas
karbon di dunia.
Selain
itu, upaya peduli lingkungan dengan tetap menjaga hutan atau tumbuhan dapat
mengurangi karbondioksida di alam yang digunakan untuk proses fotosintesis pada
tumbuhan. Dengan begitu akan tercipta keseimbangan efek rumah kaca di muka bumi
ini dan perubahan iklim maupun pemanasan global dapat dihambat.