Senin, 23 Desember 2013

Limbah Makanan Sisa Penghasil Karbon Terbesar Ketiga di Dunia Penyebab Pemanasan Global


Limbah Industri Pangan di Lingkungan: Makanan Sisa Merupakan Penghasil Karbon Terbesar Ketiga di Dunia

Newswire Rabu, 11/09/2013 17:59 WIB


Gambar Ilustrasi Makanan (Wikipedia)

Kabar24.com, ROMA- Makanan sisa yang terbuang di seluruh penjuru dunia merupakan penghasil emisi gas rumah kaca yang lebih besar dari kebanyakan negara kecuali China dan Amerika Serikat, kata Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dalam sebuah laporan, Rabu (11/9).
Setiap tahun sekitar sepertiga dari semua makanan untuk konsumsi manusia, yang berjumlah sekitar 1,3 miliar ton terbuang, bersama dengan semua energi, air, dan beragam bahan kimia yang diperlukan untuk memproduksi dan membuangnya. Hampir 30% lahan pertanian di dunia dan sejumlah air yang setara dengan debit tahunan Sungai Volga, digunakan sia-sia.
Di dunia industri, banyak limbah diakibatkan karena konsumen membeli terlalu banyak makanan dan membuang apa yang mereka tidak konsumsi. Menurut FAO, 54% pangan terbuang saat pangan tersebut diproduksi, dipanen dan disimpan. Sementara 46% limbah terjadi saat pangan tersebut diolah, dikirim dan dikonsumsi.
Dalam laporannya yang berjudul "Jejak Makanan yang Terbuang", Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa Bangsa (FAO) memperkirakan bahwa jumlah jejak karbon dari makanan yang terbuang itu setara dengan 3,3 miliar ton karbon dioksida per tahun.
Jika itu adalah sebuah negara, itu akan menjadi negara penghasil karbon terbesar ketiga di dunia setelah China dan Amerika Serikat, yang menunjukkan bahwa penggunaan pangan yang lebih efisien dapat memberikan kontribusi substansial bagi upaya global untuk memotong emisi gas rumah kaca guna membatasi pemanasan global.
Sementara di negara berkembang, hal itu terutama disebabkan karena teknologi pertanian tidak efisien dan kurangnya fasilitas penyimpanan yang tepat.
"Pengurangan pemborosan makanan tidak hanya akan menghindari tekanan pada sumber daya alam yang langka, tetapi juga mengurangi kebutuhan untuk menaikkan produksi pangan sebesar 60% dalam rangka memenuhi permintaan pangan penduduk dunia pada 2050," kata FAO.
FAO menyarankan untuk meningkatkan komunikasi antara produsen dan konsumen guna mengelola rantai pasokan yang lebih efisien, juga menyediakan investasi lebih dalam metode pemanenan, pendinginan dan pengemasan.
FAO memperkirakan biaya makanan yang terbuang, termasuk ikan dan makanan laut, sekitar 750 miliar dolar AS per tahun, berdasarkan harga di tingkat produsen.
Makanan yang terbuang membutuhkan sekitar 250 km kubik air dan memakan sekitar 1,4 miliar hektar lahan. Sebagian besar dari lahan itu mengakibatkan berkurangnya keragaman habitat. (Antara)

Editor: Andhina Wulandari

PEMBAHASAN REVIEW ARTIKEL

Permasalahan pencemaran industri khususnya industri pangan yang terjadi dalam kasus tersebut yaitu banyaknya limbah makanan di lingkungan. Sumber limbah ini berasal dari aktivitas manusia sebagai konsumen yang membeli terlalu banyak makanan namun membuang yang tidak dikonsumsi dan sering tidak menghabiskan makanannya. Selain makanan yang sudah dibeli konsumen, limbah juga berasal dari produsen yang membuang bahan baku seperti sayuran, buah, sereal, roti, ikan, dan daging. Bahan baku tersebut sudah tidak layak digunakan akibat penyimpanan yang tidak baik, penanganan bahan yang kurang, pengemasan yang tidak sesuai, maupun cacat fisik saat transportasi sehingga meningkatkan jumlah limbah.
Limbah makanan sisa dari industri-industri pangan yang semakin menjamur berdampak buruk terhadap lingkungan karena terbukti meningkatkan emisi gas rumah kaca. Selain itu, limbah tersebut juga menimbulkan pencemaran air karena limbah/ sampah yang dibuang di air bersifat organik. Limbah makanan sisa (organik terlarut) dapat membunuh spesies air bersih dan membuat berkurangnya habitat untuk spesies tersebut. Dampak lainnya adalah boros dalam pemakaian energi, lahan pertanian, air, dan bahan-bahan kimia yang digunakan untuk memproduksi makanan tersebut tetapi dibuang karena tidak dikonsumsi.
Makanan-makanan sisa tersebut terbuang sebanyak 1,3 miliar ton per tahun dan menghasilkan sebanyak 3,3 miliar ton karbon dioksida per tahun. Gas karbon dioksida (CO2) adalah gas utama penyebab efek rumah kaca. Karbon dioksida adalah gas yang secara alamiah merupakan unsur atmosfir (bersama O2, H2, H2O, dan lain-lain) yang berkarakteristik tidak beracun, tidak berbau, dan tidak berwarna. Karbon dioksida muncul secara alami di lingkungan akibat pernapasan makhluk hidup, pencernaan hewan ternak, letusan vulkanik, dan pembakaran material, maupun muncul akibat aktivitas manusia seperti pembakaran hutan. Jika pohon-pohon atau tumbuhan  mati maka akan melepaskan karbon dioksida yang tersimpan di dalam jaringannya ke atmosfer. Gas rumah kaca bekerja dengan menyerap sebagian radiasi infra merah yang dipancarkan bumi, dan menyebarkannya kembali ke berbagai arah lalu menimbulkan efek rumah kaca.
Efek rumah kaca adalah suatu keadaan dimana gas-gas kimia dalam atmosfir menghalangi radiasi sinar matahari yang dipantulkan dari bumi ke luar angkasa dengan kata lain seperti menahan panas yang terakumulasi di permukaan bumi dan pada lapisan atmosfir yang lebih rendah. Pada jumlah yang sesuai, efek rumah kaca sangat baik untuk melindungi bumi dan menjaga bumi agar tetap hangat di tengah-tengah ruang angkasa yang dingin. Namun jika gas rumah kaca semakin bertambah dapat menyebabkan terjadinya pemanasan global (global warming) atau peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi. Cakupan korban dampak pemanasan global tersebut berhubungan dengan keberlangsungan hidup seluruh umat manusia, tumbuhan, dan hewan di bumi sendiri.
Pemanasan global sendiri lebih dikenal akibat polusi gas rumah kaca di sektor transportasi yaitu dari gas hasil pembakaran bahan bakar fosil di kendaraan bermotor. Hal ini memprihatinkan, karena bukti lain yaitu dari kebiasaan manusia yang sering membuang-buang makanan ternyata menjadi sumber penyebab meningkatnya pemanasan global sendiri. Peningkatan pemanasan global membuat perubahan cuaca yang ekstrem sehingga tidak dapat dikenali dan sulit diprediksi. Hal ini termasuk curah hujan yang tinggi dalam waktu singkat, angin kencang, badai, puting beliung, banjir, tanah longsor, gelombang laut yang besar, dan peningkatan permukaan laut yang signifikan.
Penanganan permasalahan ini adalah seperti yang dianjurkan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa Bangsa (FAO) yaitu penggunaan pangan yang lebih efisien agar dapat memberikan kontribusi substansial bagi upaya global untuk memotong emisi gas rumah kaca. Pengurangan pemborosan makanan tidak hanya akan menghindari tekanan pada sumber daya alam yang langka, tetapi juga mengurangi kebutuhan untuk menaikkan produksi pangan sebesar 60% dalam rangka memenuhi permintaan pangan penduduk dunia pada tahun 2050. FAO menyarankan untuk meningkatkan komunikasi antara produsen dan konsumen guna mengelola rantai pasokan yang lebih efisien, juga menyediakan investasi lebih dalam metode pemanenan, pendinginan, dan pengemasan.
Upaya lain yang dapat dilakukan yaitu konsumen didorong untuk memesan makanan dengan porsi yang lebih kecil atau jika ingin memesan porsi yang besar harus dihabiskan, paling tidak meminimalkan makanan yang tersisa. Konsumen juga harus dimotivasi untuk memiliki kesadaran bahwa dari hal yang dianggap kecil dapat menimbulkan masalah yang besar yang menyangkut keberlangsungan hidup seluruh makhluk di bumi. Selain dari kesadaran moral, konsumen harus sadar sosial bahwa masih banyak orang yang kelaparan karena tidak dapat makan. Dari sisi produsen juga disarankan untuk meminimalkan penggunaan energi yang berpengaruh terhadap emisi gas rumah kaca dan pembuangan bahan baku segar yang masih cacat sedikit karena tampilan. Dengan begitu limbah makanan sisa dan penggunaan energi semakin berkurang sehingga dapat menjaga kebersihan lingkungan dan mengurangi emisi gas karbon di dunia.
Selain itu, upaya peduli lingkungan dengan tetap menjaga hutan atau tumbuhan dapat mengurangi karbondioksida di alam yang digunakan untuk proses fotosintesis pada tumbuhan. Dengan begitu akan tercipta keseimbangan efek rumah kaca di muka bumi ini dan perubahan iklim maupun pemanasan global dapat dihambat.